
Pegiat Jurnalisme Musik, Idhar Resmadi tengah memaparkan perkembangan jurnalisme musik di Indonesia dalam diskusi yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) BIMA Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjajaran (Unpad) di Saung Budaya Sumedang (Sabusu) pada Kamis, (23/11/2017). (Rendy M. Muthaqin/ Suaka)
SUAKAONLINE.COM – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) BIMA Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjajaran (Unpad) Menggelar diskusi bertajuk Jurnalisme Musik: Sudut Pandang Industri dan Budaya yang menghadirkan Pegiat Jurnalisme Musik, Idhar Resmadi Founder wearedisorder.net juga Editor jurnalruang.com, Raka Ibrahim, dan Microgram, Dwi Lukita di Saung Budaya Sumedang (Sabusu), Jatinangor, Kamis (23/11/2017).
Menurut Idhar, jurnalisme musik ialah proses mencari, memperoleh dan mengolah informasi terkait musik menjadi tulisan. Meski sebetulnya jurnalisme musik sempat dianggap mati, tetapi sebetulnya belum mati. Selama masih ada orang-orang yang menulis dan membicarakan musik, jurnalisme musik belum mati. Meskipun jurnalisme musik di Indonesia terus tumbuh kembang, dalam artian jumlah aktivitas mengolah musik hanya medianya saja yang berubah dan berkembang, musiknya tetap ada dan terus berevolusi dan berinovasi.
“Pada tahun 80 sampai 90-an media musik menjadi industri, tema-tema yang diangkat pun berbau industri. Bukan hanya menampilkan soal hiburan, tetapi ada juga soal sensasi. Berangkat dari situ, untuk meng-counter hal tersebut munculah zine sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap musik-musik industri,” ujar lelaki yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Riple Magz.
Lanjutnya, perubahan yang kentara pernah terjadi saat musik menjadi propaganda budaya barat, bagaimana akhirnya media populer tumbuh di Amerika atau negeri barat. Seperti majalah Aktuil yang terbit tahun 70-an yang dikeluhkan oleh pembacanya, Bambang Sulistyo Yuwono yang menyimpulkan bagaimana kontroversi itu muncul memandang sebagai propaganda barat.
“Fenomenal yang paling terkenal perseteruan “Rock vs Dangdut” antara Benny Soebagdja dengan Rhoma Irama yang menganggap musik dangdut dinilai musik yang kampungan. Aktuil bukan hanya menyajikan soal hiburan, tetapi soal sensasional juga. Seperti melaporkan pertunjukan Ucok AKA dan Godbless yang membawa peti mati ke panggung,” tegas Idhar.
Sedangkan menurut Editor jurnalruang.com, Raka Ibrahim, banyak yang mendewakan musisi senior tahun 90-an, tetapi sedikit yang menulis secara mendalam. Hal itu disebabkan karena untuk mencari pengetahuan band indie yg masih didengar itu susah, apalagi band indie yang tidak terkenal. Belum lagi informasi musik Indonesia pada saat itu terputus karena pengarsipan yang kacau. Ditambah lagi era digitalisasi dan industrialisasi.
“Pengetahuan ini jadinya tercecer, zine dan poster pun sudah tidak ada, sehingga jurnalisme musik saat itu mencerminkan angkatannya, seperti musik di era tahun 70-an yang memiliki koneksi soal politik, sehingga dalam lirik dan lagu yang diciptakan mengandung sindiran-sindiran. Di era 80-an Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKKBKK) dimana politik praktis dikampus mulai dilarang,” tutur Raka.
Raka berpendapat, dengan adanya media dan internet, seharusnya konten media musik mulai terisi, karena musik sudah mulai berisik (banyak band yang beragam -Red). Kalau pun konten tidak terisi dengan hal yang berbau berita konser, atau berita seputar band, imbasnya ruang personal yang menjadi alternatif. “Sekarang kalau kamu mau tau konser Seringai, ya tinggal follow Instagramnya, atau follow akun Arian13,” paparnya.
Mengenai musik yang berhubungan dengan media, Microgram Dwi Lukita menuturkan bahwa relasi antar band dan media sangat berpengaruh agar karyanya bisa didengar dengan luas oleh masyarakat. Jurnalisme musik belum mati, dan membutuhkan sekali media untuk mneyebar luaskan karya-karya musik Indonesia. Begitu pun ia menyayangkan belum banyak yang mengulas album suatu band dengan serius. “Sekarang jarang yang ngulas album Payung Teduh dengan serius, sekarang yang penting gue dengerin lagu Akad dengan loe berdua, udah sampe situ,” tutup Dwi Lukita.
Reporter : Rendy M. Muthaqin
Redaktur : Dadan M. Ridwan