
Dok. Pribadi
Oleh Dede Lukman Hakim*
Baru saja awal tahun 2018, masalah kesehatan sudah terjadi di Kabupaten Asmat, Papua. Adalah campak dan gizi buruk yang saat ini menjadi momok bagi masyarakat di kabupaten yang dikenal dengan kota di atas papan itu. Bahkan, saking banyaknya penderita, pemerintah daerah menetapkan campak pada status kejadian luar biasa (KLB).
“Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi,” sedikit lirik dari lagu yang berjudul ‘Aku Papua’ itu merepresentasikan betapa kaya nya belantara papua. Bagaimana tidak, Papua memiliki lebih dari 250 bahasa lokal dan suku daerah. Dalam buku Wisata Budaya Asmat, Universitas Cendrawasih membagi suku di Papua Ke dalam tujuh wilayah adat berdasarkan geografis, sistem kepemimpinan, dan bahasa. Suku Asmat misalnya, salah satu suku yang cukup besar dan dikenal di seluruh dunia atas karya seni ukir nya. Memiliki 23 distrik dengan akses yang hanya bisa dicapai dengan speed boat.
Kabupaten Asmat dilewati banyak sungai besar seperti sungai Bets, Sirets, Asewets, dan Vamberb. Lokasinya berada di atas rawa-rawa sehingga jalanan dibuat menggunakan papan. Itulah sebabnya kabupaten ini mendapat julukan sebagai ‘Kota di Atas Papan’.
Sungai-sungai itu menjadi lahan mata pencaharian makanan bergizi bagi masyarakat dengan menangkap kepiting, udang, dan berbagai jenis ikan. Tidak hanya itu, Kabupaten Asmat pun memiliki banyak pohon sagu, mangrove, dan hutan hujan tropis, yang didalamnya terdapat berbagai jenis burung untuk dikonsumsi sehari-hari.
Nihil Kesadaran Pola Hidup Sehat
Dengan sumber daya alam yang mencukupi itu, lantas mengapa gizi buruk bisa terjadi, bahkan diiringi campak dengan status KLB ?. Dari sisi kesehatan, semua sumber makanan baik dari laut atau hutan akan sangat berpotensi menimbulkan berbagai penyakit bila tidak didampingi dengan pola hidup sehat. Berdasarkan data dari Pos Kesehatan Distrik Agats, dalam kurun waktu September 2017 hingga 22 Januari 2018 ditemukan kasus campak sebanyak 602 orang se Kabupaten Asmat.
Sederhana saja sebenarnya, pola hidup sehat dengan rajin mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, mandi memakai sabun, minum air bersih, memakan makanan yang sehat, dan menjaga kesehatan keluarga akan menghindarkan dari gizi buruk dan campak tidak akan mewabah di Asmat. Kondisinya saat ini kontradiktif : anak dibiarkan bermain lumpur tanpa diperintah mencuci tangan, bahkan balita di sana sering meminum minuman berenergi, kopi, mie tanpa dimasak, dan minum air mentah. Masyarakat beranggapan setiap air yang terlihat jernih dan tidak berbau dapat diminum, padahal air yang baik adalah air yang dimasak terlebih dahulu.
Gizi buruk terjadi akibat energi yang diperoleh dari makanan terlalu sedikit dibandingkan energi yang dikeluarkan. Dengan kata lain, kurangnya asupan makanan pada anak disertai pola hidup tidak sehat menjadi faktor utama penyebab terjadinya gizi buruk.
Selain gizi buruk, masalah lain yang mengiringi adalah mewabahnya campak. Gejala yang muncul pada penderita berupa mata merah, demam tinggi terus menerus, sakit kepala, badan ngilu dan kurang nafsu makan. Banyaknya anak di Asmat yang meninggal karena campak itu menjadi hal serius. Padahal pada orang dewasa tidak sedikit yang rentan terkena campak.
Sebenarnya tubuh manusia bisa melawan campak, yakni dengan kekebalan tubuh kita sendiri. Tubuh manusia bak sebuah negara dan tentaranya adalah kekebalan tubuh. Jika negara ingin kuat, maka tentaranya pun harus kuat. Artinya, tubuh yang terhindar dari campak adalah tubuh yang memiliki kekebalan tubuh yang kuat.
Kekebalan tubuh tersebut diperkuat melalui imunisasi campak. Campak bukanlah penyakit berbahaya selama anak diimunisasi. Tingginya angka kematian anak karena cakupan imunisasinya rendah. Tak bisa dipungkiri bahwa pemahaman orang tua terkait pentingya imunisasi dasar –termasuk campak- masih kurang.
Data cakupan imunisasi Kabupaten Asmat dari Seksi imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi Papua menunjukkan persentase yang menurun drastis selama 4 tahun. Pada imunisasi campak sebanyak 110,4% di 2014, 48,8% tahun 2015, 62,6% tahun 2016, dan 17,2% di tahun 2017. Di Kabupaten Asmat, banyak anak meninggal karena campak, penyebabnya karena diiringi komplikasi seperti inveksi paru, infeksi otak dan inveksi mata, namun yang lebih sering terjadi di Asmat adalah inveksi paru (pneumonia).
Sekali lagi, bahwa pemahaman orang tua di Asmat terkait imunisasi sangat kurang. Bahkan di beberapa distrik di Kabupaten Asmat terjadi penolakan imunisasi. Di Distrik Kolf Braza misalnya, salah satu tenaga kesehatan di Puskesmas sampai diancam akan dipotong tangannya jika memaksa memvaksin sang anak. Hal itu terjadi karena setelah divaksin sebelumnya, sang anak mengalami demam sehingga ketika jadwal vaksin selanjutnya, orang tua itu menolak.
Karena asupan gizi pada anak yang kurang disertai pola hidup tidak sehat, maka anak yang menderita campak itu kemungkinan juga menderita gizi buruk. Maka cara yang paling tepat untuk mengatasi dan mengantisipasinya adalah dengan asupan gizi yang cukup dan diimunisasi campak.
Beruntung, Kementerian Kesehatan bersama pemerintah daerah dan TNI, serta beberapa LSM tanggap dalam mengendalikan KLB campak dan masalah gizi buruk itu. Sehingga pada 5 Februari 2018, Bupati Asmat, Elisa Kambu mencabut status KLB Campak, dan saat ini kondisi kesehatan masyarakat Asmat sedang dalam masa pemulihan. Pemerintah pusat dan daerah, bersama-sama memberikan pemahaman bagaimana menerapkan pola hidup sehat.
Pada Kamis 8 Februari 2018, jumlah pasien di RSUD Agats, Asmat tinggal 19 orang dengan 2 orang campak, 16 gizi buruk, dan 1 orang campak plus gizi buruk. Pemerintah dan semua sektor termasuk masyarakat Asmat harus tetap mengawasi, karena jika pola hidup masyarakat tidak berubah semuanya akan kembali lagi menjadi masalah.
Penulis adalah Alumni LPM Suaka yang sekarang berkarir di Kementrian Kesehatan Republik Indonesia