
Ilustrasi.
Oleh: Kelvin*
Engkaukah itu,
Wahai gadis yang dipersimpang mendung.
Jejakmu meninggalkan gebah dan terpaku keraguan,
Wajah lemas menahan luka
Seolah ruas-ruas dadamu runtuh
Hingga tangis mengundang hujan tempatmu menangis.
Wahai gadis berpayung hujan
Seusai hilang tempat berlindung
Akankah hujan membasuh tubuhmu yang berlumuran kegetiran
Sedang ia menjelmai ribuan jarum yang menusuk ke ulu hati,
Atau sekedar menghitung bulu matamu
Basah disimbah dusta
Kau masih saja bertanya
Kala kuhantarkan dengan doa
Serta bebunyian seruling ruas-ruas tulang rusukku.
Bukankah seluruh luka telah diasami, sepi telah disunyikan,
Bahkan seluruh bunga telah aku gugurkan
Di sepanjang lekuk tubuhmu
Hanya untuk membendung aliran-aliran sungai
Di tepian matamu
Lalu masihkah kau menari dalam hujan,
Sementara ia tak mengaliri warna pada jiwa
Selain darah perkosaan
Serta perawan-perawan takut
Mengeluarkan air mata
Derai-derainya tak lagi mendendangkan
Nada-nada riang dari langit
Namun gemuruh dari dalam dadamu,
Berdinding pelupuh.
Rapuh
Gadis berpayung hujan,
Menunggu titian seberkas pelangi
Dari slayan awan
Sebab tiada penyeberangan untuk memanggul duka
Bandung, 2016
*penulis merupakan Redaktur Foto LPM Suaka UIN SGD Bandung, puisi-puisinya juga bisa ditemukan dalam buku antologi puisi Peminta Malam.