
SUAKAONLINE.COM, Infografis – Dalam dekade ini, istilah hubungan racun atau toxic relationship sering dibahas dimana – mana baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Istilah toxic ini merujuk pada sebuah hubungan, dimana salah satu pihak mencoba untuk mendominasi pihak yang lainnya. Bentuk dominasi dapat dilakukan dalam bentuk fisik, emosional, verbal, dan finansial. Meski demikian, perilaku toxic dalam hubungan sering tidak disadari oleh pelaku maupun korban.
Jika toxic relationship tersebut kedepannya berjalan ‘baik’, itu merupakan suatu reaksi atas usaha bertahan hidup dari korban saja, dan termasuk kepada salah satu sindrom mental yang dinamakan Sindrom Stockholm. Walaupun belum termasuk dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, sindrom ini sering dijadikan acuan oleh pekerja psikologi untuk mendiagnosis gejala kekacauan mental.
Sindrom Stockholm terbangun di bawah kesadaran korban dan biasanya bukan merupakan kesengajaan yang dibuat-buat oleh korban. Tumbuhnya sindrom ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1973, yang merupakan bentuk mekanisme koping yang dibentuk oleh mental korban untuk menghadapi kekerasan atau tekanan yang didapatkan dari pelaku.
Kemudian hubungan yang terbentuk dengan dasar sindrom ini dapat dilihat pada hubungan yang berbalut kekasaran (abusive relationship). Dimana salah satu pasangannya menerima siksaan ataupun tekanan baik mental maupun fisik. Beberapa korban pada kasus ini menganggap bahwa pelaku merupakan ‘penyelamat’ di dalam kehidupannya, dengan premis korban sebelumnya kurang mendapatkan perhatian dan si pelaku memberikannya.
Selanjutnya, hubungan antara pelaku kekerasan seksual dan korban termasuk cukup parah. Sering kali beberapa pelaku mengancam akan membunuh atau menambah siksaan pada korban, dan cara korban untuk dapat terlepas dari siksaan atau ancaman tersebut adalah dengan menuruti keinginan pelaku yang sebenarnya sangat dibencinya. Terkadang cara menyintas mereka yaitu dengan memberikan pujian-pujian atau melakukan hal-hal yang disenangi oleh yang bersangkutan.
Kasus Sindrom Stockholm ini ternyata sangat banyak terjadi di sekitar kita, namun kita tidak menyadarinya. Seperti orang beranggapan bahwa orang tua atau pelatih yang menggunakan kekerasan atau tekanan dalam mendidik anak merupakan usaha yang terbaik untuk membentuk seseorang. Namun faktanya, anggapan anak atau murid yang menyatakan ‘kekerasan itu adalah untuk kebaikan kita sendiri’ merupakan ciri-ciri tumbuhnya Sindrom Stockholm dalam diri.
Sumber: Tasteofcinema.com, Healthline.com, Women’s UN Report Network
Periset : Diyanah Nisa/Magang
Desain: Hamzah Anshrulloh
The post Mengenal Sindrom Stockholm, Kondisi Kejiwaan Tersakiti tetapi Menikmati appeared first on Suaka Online.