
Ilustrasi: M. Shibgoh Kuncoro P/Suaka
Oleh: Muhammad Seha*
Gemuruh takbir menggema di hati
Di setiap sudut, riuh memanggil Ilahi
Dada bergetar, luka pulang perlahan
Alam bersyahdu, ikut melantunkan pengampunan
Berbondong-bondong menuju masjid, haru bersisian
Langkah kecil bagai mengulang jejak Nabi, penuh kerinduan
Terselip dalam risalah suci
Hewan qurban, saksi yang tak pernah bernarasi
Pedang tak lagi membunuh, tapi menghidupkan makna
Keangkuhan ditumbangkan dalam satu hunusan
Darah mengalir bukan sekadar ritual
Tapi gema tentang pengorbanan yang kita pelajari setengah-setengah
Tiap irisan daging, dibagi rata dalam lembar-lembar propaganda
Disalurkan kepada mereka yang hanya “menerima” setahun sekali
Kini tibalah kita… selfie dulu sebelum menyembelih
Lalu unggah, seolah telah mengambil bagian dari kisah Ibrahim
Uap ketupat menari-nari dari dapur sosial media
Anyaman daun tak hanya membungkus beras tapi juga pamrih
Salam dibagikan dalam caption penuh gaya
Menyulut rindu yang tak bisa ditukar dengan “like” semata
Oh… semua ini mungkin cuma angan
Ragaku terdampar jauh di negeri perantauan
Takbir menyelinap dari sela jendela
Aku mengintip rindu yang dipinjam langit senja
Rendang, opor, dan hiruk pikuk kampung halaman
Menjadi kenangan yang ditabur di atas sepi
Takbiran larut, malam nyaris usai
Tapi rinduku tak bisa disembelih seperti qurban hari ini
Dalam sepi, aku belajar
Bahwa rindu adalah satu-satunya ibadah yang tak bisa dibagi
Ia cuma tersimpan
Dalam gulungan fajar dan linangan diam-diam
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Hukum Pidana Islam 2024 serta anggota magang LPM Suaka*
The post Takbir dari Jendela Rantau appeared first on Suaka Online.