
Mahasiswa asal Papua, Jess, menyampaikan bahwa perjuangan rakyat Papua tak lepas dari sejarah panjang pendekatan militer sejak tahun 1961, di Akuarium kampus Universitas Islam Bandung (Unisba), Jl. Tamansari No. 20, Kota Bandung pada Kamis (12/6/2025).
SUAKAONLINE.COM – Isu Papua kembali mengemuka dalam sebuah diskusi terbuka bertajuk “Papua Bukan Tanah Kosong” yang digelar di Akuarium Kampus Universitas Islam Bandung (Unisba), Jl. Tamansari No. 20, Kota Bandung pada Kamis (12/6/2025). Diskusi ini menggali persoalan eksploitasi sumber daya alam, kekerasan negara, serta pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat sebagai wajah nyata kolonialisasi yang masih terjadi hingga hari ini.
Film “Wajah Lain Raja Ampat dan Potret Tanah Papua Terkini” turut menjadi pembuka dalam diskusi ini. Film tersebut menyoroti kekayaan alam Papua, seperti hutan tropis, mangrove, dan ekosistem khas, serta menggambarkan Papua sebagai tempat tinggal masyarakat adat. Namun, film ini juga menampilkan pengambilan sumber daya secara masif oleh pemerintah juga pihak-pihak berkepentingan yang masih terus berlangsung.
Dosen Ekonomi Pembangunan Unisba, Yuhka Sundaya, menggarisbawahi pentingnya memahami Papua tidak hanya sebagai gugusan pulau, tetapi juga sebagai ruang hidup masyarakat adat yang memiliki sistem kearifan lokal dalam mengelola alam. Ia mencontohkan tradisi sasi yang masih dijalankan di Raja Ampat, sebuah mekanisme adat untuk melindungi ekosistem laut melalui larangan menangkap ikan pada waktu tertentu yang ditandai dengan simbol daun kelapa.
Yuhka juga menyinggung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa nilai ekologis Papua setara dengan Rp 442 juta per orang setiap tahunnya. Namun menurutnya, masyarakat sering kali terkecoh dengan angka uang, padahal kekayaan sejati adalah ekosistem itu sendiri, yakni hutan, laut, dan udara bersih yang semakin terancam.
Mahasiswa asal Papua, Jess, mengungkap sejarah panjang pendekatan militer di wilayahnya sejak 1961. Ia menyebut eksploitasi sumber daya alam semakin meluas sejak masuknya Freeport pada 1967. Hingga kini, masyarakat Papua masih terus memperjuangkan hak-haknya yang belum terpenuhi secara adil. “Apa yang terjadi di Papua adalah gambaran besar apa yang terjadi di Indonesia,” tegasnya, Kamis (12/6/2025).
Sementara itu, perwakilan Komite Sa Pu Alam, Fay, menekankan bahwa persoalan Papua bukan sekadar masalah lokal, melainkan bagian dari isu kemanusiaan yang lebih luas. Fay mengkritik cara pandang yang menganggap Papua sebagai “tanah kosong” yang bebas dieksploitasi oleh kepentingan industri, baik pertambang maupun sektor pariwisata.
Menurutnya, masyarakat adat seringkali diabaikan keberadaannya, padahal mereka hidup dan tumbuh bersama alam. Ia juga menilai bahwa jika pariwisata tidak dikelola dengan bijak, bisa menjadi bentuk eksploitasi baru terhadap Papua. Bagi Fay, Papua bukanlah surga yang bisa diambil seenaknya, melainkan tanah yang seharusnya dihargai dan dijaga.
Sesi diskusi ini turut mencakup tanya jawab, salah satunya datang dari Shofwan Hakim Al-Fajri yang mempertanyakan bagaimana informasi mengenai proyek-proyek seperti pertambangan dan pembangunan infrastruktur di Papua disampaikan kepada masyarakat, khususnya terkait keterlibatan langsung masyarakat adat. Ia menyoroti dampak dari kemajuan teknologi, termasuk proyek 5.0 dan tambang nikel di Raja Ampat, yang justru menimbulkan berbagai risiko sosial dan lingkungan.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Jess menjelaskan bahwa masyarakat sipil di Papua hidup dalam ketakutan, sementara banyak proyek dijalankan dengan dominasi aparat, termasuk proyek food estate di Merauke. Proyek pertambangan sering kali hanya dikomunikasikan kepada pihak-pihak tertentu dan melibatkan masyarakat adat secara terbatas, bahkan cenderung manipulatif.
Fay menambahkan bahwa komunikasi kerap dilakukan secara sepihak oleh tokoh adat yang didukung militer. Terakhir, seorang mahasiswa Papua, Franz, turut menanggapi dengan mengatakan “Perusahaan biasanya masuk atas nama lembaga adat atau yayasan. Mereka menjanjikan pendidikan dan pembangunan, tapi kenyataannya hanya untuk memperpanjang kepentingan mereka sendiri, tanpa memikirkan keberlanjutan dan hak masyarakat adat,” ujarnya.
Reporter: Zahra Zakiyyah/Magang
Redaktu: Guntur Saputra/Suaka
The post Papua Bukan Tanah Kosong, Eksploitasi Terus Berlanjut appeared first on Suaka Online.